KUNINGANSATU.COM,- Dugaan pungutan besar dalam pengurusan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) bagi dapur penyedia Makan Bergizi Gratis (MBG) mencuat di Kabupaten Kuningan. Sejumlah pengelola dapur mengaku diminta sejumlah uang dengan nilai yang dianggap tidak wajar. Salah satu di antaranya menolak membayar karena merasa pungutan tersebut janggal dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kuningan, dr. Edi Martono, MARS, menegaskan pihaknya tidak pernah menetapkan atau memungut biaya apa pun dalam proses penerbitan SLHS. Menurutnya, penerbitan sertifikat dilakukan murni berdasarkan kelengkapan persyaratan teknis dan administrasi, bukan karena pembayaran.
“Dinkes tidak pernah mengeluarkan tarif biaya untuk pengurusan SLHS. Kalau persyaratan sudah lengkap, kami bisa menerbitkannya tanpa biaya,” ujar dr. Edi saat dikonfirmasi, Jumat (10/10/2025).
Edi menjelaskan bahwa biaya resmi hanya timbul dari dua kegiatan, yaitu pemeriksaan sampel makanan dan air di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) yang diatur melalui Peraturan Bupati tentang retribusi, serta pelatihan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI). Dalam pelatihan tersebut, minimal 50 persen penjamah makanan wajib memiliki sertifikat pelatihan.
Berdasarkan dokumen yang diterima kuningansatu.com, HAKLI Kuningan melalui surat bertanggal 1 Oktober 2025 menetapkan biaya pelatihan sebesar Rp 3.750.000 per kegiatan untuk narasumber, pengajar, dan moderator, serta Rp 50.000 per peserta untuk sertifikat. Surat itu ditandatangani oleh Ketua HAKLI Kuningan, Hilary Sucipta, SKM.
Dengan demikian, jika ditemukan pungutan yang melebihi angka tersebut, besar kemungkinan ada oknum yang bermain di balik proses pengurusan sertifikat.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program strategis pemerintah pusat yang digagas untuk meningkatkan gizi anak sekolah di seluruh Indonesia. Dugaan adanya pungutan liar dalam pelaksanaannya di daerah menjadi perhatian publik, karena berpotensi mencoreng pelaksanaan program nasional yang menyentuh kebutuhan dasar anak-anak.***

Tinggalkan Balasan