Oleh: Erpan Alpandi
Ketua Bidang Ekonomi Dan Kewirausahaan
PC IMM KUNINGAN
Di tengah semangat reformasi birokrasi yang terus digembar-gemborkan pemerintah, masih banyak ruang pelayanan publik yang justru berjalan dengan wajah kaku dan minim empati. Salah satunya, di lingkungan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kuningan.
Alih-alih menjadi garda depan dalam memberikan layanan administrasi kependudukan yang ramah dan manusiawi, sebagian petugas justru menunjukkan sikap yang jauh dari standar pelayanan publik: tidak komunikatif, kurang sabar, bahkan terkesan ogah melayani. Padahal, warga yang datang adalah masyarakat yang sedang menunaikan hak dasarnya: memperoleh dokumen identitas yang sah.
Tak jarang terdengar keluhan masyarakat yang merasa direndahkan hanya karena tidak tahu prosedur. Alih-alih dibimbing, mereka justru dimarahi. Mereka yang bertanya dianggap mengganggu. Dan mereka yang menuntut kejelasan, malah dilabeli sebagai pembuat onar.
Ini bukan hanya tentang pelayanan yang lambat atau prosedur yang rumit, tapi tentang hilangnya sisi kemanusiaan dalam birokrasi. Tentang bagaimana warga diperlakukan sebagai beban, bukan sebagai pihak yang seharusnya dilayani.
Kritik bukan semata untuk menjatuhkan, tetapi sebagai alarm bahwa pelayanan publik harus dibenahi dari hulunya. Dari cara berpikir aparaturnya. Dari sikap dasar bahwa mereka digaji dari pajak rakyat, dan karenanya, sudah semestinya melayani dengan hati, bukan dengan wajah masam dan nada tinggi.
Jika benar kita ingin mewujudkan pelayanan publik yang prima, maka yang perlu diperbaiki bukan hanya sistemnya, tapi juga manusianya. Pendidikan empati, etika pelayanan, dan komunikasi publik wajib ditanamkan sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Karena pada akhirnya, pelayanan publik bukan hanya soal administrasi, tapi tentang martabat manusia.
(red)
