
"Jika masih ada yang bingung besok mau makan apa, itu indikasi pemerintah belum hadir."
KuninganSatu.com,- Pernyataan ini tak hanya menyentuh emosi, tapi juga menggugat nurani. Kalimat ini menjadi gambaran nyata dari keresahan masyarakat bawah yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, terlebih di Kabupaten Kuningan daerah yang kaya sumber daya, namun masih berjuang keluar dari lingkaran kemiskinan struktural.
Kemiskinan Bukan Sekadar Angka
Data BPS menunjukkan penurunan angka kemiskinan di Kuningan, dari 12,12% (Maret 2023) menjadi 11,88% (Maret 2024). Namun, dua indikator utama justru naik: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari 1,87 ke 2,02 dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) dari 0,42 ke 0,53. Ini artinya kualitas hidup warga miskin memburuk, ketimpangan antarpenduduk miskin makin tajam.
Bahkan Garis Kemiskinan pada Maret 2024 hanya Rp420.867 per kapita per bulan. Dengan angka ini, seseorang dianggap “tidak miskin” secara administratif hanya karena bisa bertahan hidup dengan sekitar Rp14.000 per hari angka yang jauh dari layak.
Kewajiban Konstitusional Negara
Negara tidak bisa berpaling dari kenyataan ini. Kehadiran negara dalam menjamin kebutuhan dasar rakyatnya bukan sekadar tuntutan moral, melainkan perintah konstitusi.
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:
"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya..."
Pasal 34 ayat (1) lebih tegas lagi:
"Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara."
Sebagai pelaksana dari amanat tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, yang pada Pasal 2 menyatakan bahwa penanganan fakir miskin merupakan tanggung jawab negara, dan menjadi bagian dari perlindungan sosial untuk menjamin hak atas kebutuhan dasar.
Lebih lanjut, Pasal 3 UU No. 13 Tahun 2011 mengatur bahwa tujuan penanganan fakir miskin adalah:
1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar mereka;
2. Memberikan pelayanan sosial;
3. Menjamin perlindungan sosial;
4. Mewujudkan kemandirian fakir miskin secara berkelanjutan.
Maka ketika ada warga yang kebingungan untuk makan besok, itu bukan semata kegagalan ekonomi saja, itu pelanggaran terhadap tanggung jawab negara sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Antara Harapan dan Ketimpangan
Di Kuningan, masih ada 25 desa yang dikategorikan sebagai lokus kemiskinan ekstrem. Beberapa kecamatan seperti Ciwaru, Cibingbin, dan Subang menjadi sorotan karena minimnya akses terhadap pekerjaan, air bersih, dan layanan kesehatan dasar.
Pemerintah daerah memang telah menggulirkan sejumlah program pengentasan kemiskinan, namun efektivitasnya masih menjadi tanda tanya. Banyak program tidak berbasis data riil, belum tepat sasaran, dan minim monitoring.
Lebih dari sekadar menyalurkan bantuan, UU No. 13/2011 menegaskan pentingnya pemberdayaan, yaitu membangun kemampuan warga miskin agar mandiri secara sosial dan ekonomi. Pendekatan ini belum menjadi arus utama di banyak wilayah.
Menagih Kehadiran Negara yang Nyata
Sudah saatnya pendekatan penanganan kemiskinan berubah dari karitatif menjadi transformatif. Pemerintah tidak cukup hanya dengan memberi bantuan, tapi harus menghadirkan keberpihakan dalam kebijakan: pemberdayaan BUMDes yang nyata, akses modal UMKM, pelatihan keterampilan, serta infrastruktur dasar yang memadai.
Jika negara masih absen di dapur rakyatnya, maka UU dan program-program sosial hanyalah jargon yang kehilangan makna.
Kemiskinan adalah Tanggung Jawab Kolektif
Ketika satu keluarga di Kuningan masih bertanya "besok makan apa", itu bukan sekadar masalah pribadi, melainkan indikator kegagalan sistemik yang melanggar amanat UUD 1945 dan UU Penanganan Fakir Miskin.
Masyarakat tidak hanya menuntut kehadiran pemerintah, tetapi menagih tanggung jawab konstitusional yang dijanjikan sejak negara ini berdiri: mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis : Mang Kaeling
Editor : Roy